Senin, 13 Agustus 2012

ARTI LAMBANG KABUPATEN BULUNGAN.

Terdapat 8 warna pada Lambang Daerah Kabupaten bulungan, yaitu : hijau, biru, jingga, orange, kuning, merah, hitam dan putih.

Secara umum, kedelapan warna tersebut mencerminkan:
1. Potensi sumber daya alam dan kelautan, serta sarana prasarana adan transportasi yang di miliki Kabupaten Bulungan.
2. Jiwa dan karakter yang menjunjung tinggi dan memeihara seni budaya, mengutamakan keharmonisan, kebersamaan, keseimbangan hidup pribadi dan bermasyarakat, kesucian, keikhlasan dan kejujuran.
3. Sikap mental masyarakat kabupaten bulungan yang menjunjung keberanian atas kebenaran, sikap kesabaran, prihatin, toleransi dan keakraban.

Makna Lambang Daerah.

Pada lambang daerah kabupaten Bulungan terdapat 11 (sebelas) jenis gambar dan dua buah tulisan.
1. Tugu Batas Warna Putih melambangkan Bulungan sebagai garis depan perbatasan Negara luar.
2. Bintang Emas melambangkan pancasila dan kelima silanya sebagai falsafah hidup masyarakat dan negara
3. Dua Ekor Burung Enggang berhadapan, mencerminkan sifat luhur dan jiwa kepemimpinan
4. Perisai, Parang dan Sumpit, menggambarkan benteng terdepan yang dilambangkan dengan senjata khas penduduk asli.
5. Perahu Hitam, adalah lambang sarana transportasi yang abadi.
6. Gambar 4 (empat) Gelombang, yang bermakna sebagai urat nadi perekonomian dari 4 sungai yang menghubungkan masyarakat di Pedalaman dengan daerah Pantai dan Perbatasan (Sungai Kayan, Sesayap, Sembakung, dan Sebuku).
7. Gong adalah lambang keagungan mencintai budaya dan seni.
8. 17 butir oadi dan 8 kapas adalah tanggal kemerdekaan yang berpokok pada Pangan dan Sandang.


Makna 2 (dua) buah tulisan yang terdapat pada lambang daerah:

1. Tulisan ‘Kabupaten Bulungan’ sebagai pernyataan status wilayah kabupaten adalah daerah otonom.
2. tulisan ‘Tenguyun’ berarti semangat kebersamaan, keakraban, kekeluargaan, kesadaran yang mendalam mengutamakan unsur musyawarah dan mufakat dalam kehidupan masyarakat.

Sumber:

buku profil Kabupaten Bulungan, bagian HUMAS Sekretariatan Kabupaten Bulungan, Tahun 2009.

Makna warna-warni pada Lambang Daerah.

Koleksi Unik dan Menarik Museum Kesultanan Bulungan.

Berbicara mengenai sejarah dan budaya Bulungan, kita tentunya tidak bisa melewatkan begitu saja mengenai koleksi-koleksi sejarah dan budaya Bulungan yang tak ternilai harganya itu yang saat ini disimpan dengan baik di Museum Kesultanan Bulungan, museum ini di bangun sekitar tahun 1999, dengan desain arsitektur yang mengacu pada model keraton kesultanan Bulungan dengan skala yang lebih mini.

Banyak hal yang unik dan menarik, seakan terlewat begitu saja disekitar kita, tak terkecuali jika kita berkunjung ke museum Kesultanan Bulungan atau yang lebih dikenal dengan nama museum Bulungan, namun percaya atau tidak museum kebanggan masyarakat Bulungan ini menyimpan koleksi yang “tak biasa” yang mungkin agak sulit ditemukan pada tempat sejenis.

Saya akan membawa anda berkelana untuk menyaksikan sebagian keunikan benda-benda tinggalan sejarah Bulungan yang mungkin akan jarang anda temukan di tempat lain, mudah-mudahan ini akan merubah sedikit persepsi anda mengenai museum Bulungan ini. inilah persembahan dari Bulungan untuk dunia! ...

1. Sikat gigi paling mahal di Bulungan.


Kalau saya ditanya, apa saja koleksi bulungan yang unik dan “tak biasa” , saya akan memulainya dengan koleksi sikat gigi paling mahal dan bersejarah dari Bulungan, anda boleh percaya atau tidak jauh sebelum produk sikat gigi menjadi bagian dalam kehidupan moderan masyarakat Bulungan, benda bernama sikat gigi itu sudah dikenal di lingkungan istana bulungan.

Salah satunya adalah koleksi yang diperkirakan milik Sultan Bulungan yang terakhir, sikat gigi ini menjadi istimewa karena bentuknya yang “tak biasa” terdiri dari bulu sikat yang lembut dipadukan dengan kemewahan gagang yang sepenuhnya terdiri dari besi putih atau mungkin perak murni, tersimpan dengan rapi dalam kotaknya yang berwarna putih. sayangnya belum tau pasta gigi seperti apa yang digunakan saat itu ^_^ .

2. Delphin Filter.


Jika melihat koleksi unik yang satu ini, saya jadi teringat dengan galon air mineral isi ulang, ya Delphil Filter adalah semacam galon isi ulang tempo dulu, tapi tentu saja dengan tambahan kemewahan yang menawan karena dilapis dengan keramik mahal bermutu tinggi. sayangnya koleksi ini mungkin hanya satu-satunya yang dapat diselamatkan di museum kesultanan Bulungan ini.




3. Meja yang berkilau dari Bulungan.


Sekilas, koleksi ini tampaknya hanya meja kayu kuno yang biasa-biasa saja, itu kalau anda tidak memperhatikannya dengan seksama, tapi tau kah anda bahwa meja kuno yang tampak tidak menarik ini sebenarnya dibuat dari lapisana potongan-potongan mutiara murni yang terbaik dikelasnya, secara artistik di sematkan sesuai pola-pola ukiran meja sehingga menambah keindahan meja kuno ini.

Salah satu keistimewaan meja kuno yang berkilau ini adalah, meja ini sebenarnya tidak terdiri dari satu potongan, melainkan dari dua potongan meja yang disambung dan dilepas sesuai kebutuhan. itu sebabnya meja kuno ini tampak dari jauh terdiri dari empat kaki, walau sebenarnya kalau anda jeli, anda pasti kan tau kalau meja ini terdiri dari delapan kaki yang saling disambungkan.

4. Piring termahal dari Bulungan.


Sewaktu kecil saya pernah mendengan sebuah kisah tentang sebuah kerajaan yang sangat kaya sampai-sampai saat sang raja menjamu para tamunya, ia menggunakan piring, sendok dan gelas yang terbuat dari emas, dan setelah selesai jamuan sang raja memerintahkan untuk membuang semua perabot makan itu di kolam dibelakang istananya seolah memperlihatkan pada tamunya bagaimana kekayaan dan kebesaran yang dimiliki kerajaannya.

Saya menyadari hal tersebut bukan hanya sekedar dongeng belaka, percaya atau tidak dimasa jayanya Kesultanan Bulungan menjamu para tamunya dengan piring mewah yang uniknya, pada bingkai piring itu dibuat dari sepuhan emas murni, beberapa koleksi Bulungan yang dapat diselamatkan dapat kita saksikan sampai hari ini, mungkin di museum ini, saya menemukan sebuah piring yang setara dengan potongan emas.

inilah sebagaian dari koleksi-koleksi unik dan menarik dari museum kesultanan Bulungan yang bisa kita saksikan hari ini, semoga kita bisa lebih menjaga dan menghargai sejarah dan budaya yang telah ditorehkan para pendahulu kita. Sampai jumpa ^_^ .

Foto:
Koleksi Museum Kesultanan Bulungan.

Satu bangsa dua negera; generasi muda Bulungan di tapal batas.

Satu bangsa dua negara, yah itulah gambaran generasi muda bulungan saat ini. bagi orang bulungan di indonesia. Bulungan bukan hanya tanah nenek moyang tapi juga tanah tumpah darah, dan bagi kawan-kawan yang kebetulan beretnis Bulungan di malaysia, khususnya di sabah, "Bulungan adalah tanah nenek moyang, tapi di sini (sabah) adalah tanah tumpah darah kami", itulah realitas sejarah yang membagi generasi muda bulungan ditapal batas.
 Beberapa puluh tahun kedua generasi ini tumbuh dan berkembang sesuai pola pikir dan pendidikan masing2 negara yang menjadi induknya, jadilah kedua generasi satu darah namun berbeda cara pandang, berbeda bahasa dan sebagainya. tak salah memang. karena sejarah sudah terjadi seperti itu.
1964, merupakan titik balik yang penting, beberapa keluarga bulungan terpisah, jauh dari belaian lembut tanah lembab di tanjung palas, jauh dari gemericik merdu sungai kayan yang dahulu sering mereka rasakan, bahkan beberapa dari mereka tak lagi pernah melihat gunung putih hingga ajal menutup mata mereka.
Rindu ... mungkin itu yang ada dalam benak mereka... sampai akhirnya satu per satu anak-anak mereka lahir disana, dan tak pernah tau bagaimana rasanya mendekap tanah lelehur mereka. beberapa dari mereka bahkan ada yang memiliki hati dingin, sedingin es beku, karena hanya tahu mendengar kisah pilu.
Saya sendiri sempat terharu waktu beberapa kawan disini bertukar link di Facebook dengan kawan2 komunitas bulungan di tawau. masing-masing berkisah tentang orang Bulungan di indonesia dan Tawau, saya memang tidak tau bahasa bulungan, tapi saya sangat senang, mungkin ada sedikit jalan merekatkan silaturahmi yang sempat terputus berpuluh tahun silam, mungkin lewat jalan seperti ini bisa mencairkan sedikit hati yang beku. mengobati sedikit rasa rindu, walaupun saya tau, sejak saat itu, sejarah membuat kita telah mengambil haluan yang berbeda.

Selayang Pandang Sejarah Mesjid Sultan Kasimuddin.


(Mesjid Sultan Kasimuddin diwaktu senja)

Salah satu harta kekayaan sejarah Bulungan adalah Mesjid Sultan Kasimuddin atau dikenal dengan nama Mesjid Kasimuddin, nama itu sudah sangat dikenal sebagian besar masyarakat Bulungan, namun sejarah yang melikupinya, ternyata tidak setenar namanya. saya akan mengajak kawan-kawan merefres ingatan kita mengenai mesjid bersejarah ini.

Riwayat Singkat Mesjid Kasimuddin.

Mesjid Jami’ Kasimuddin merupakan sebuah masjid bersejarah yang dibangun Peninggalan Sultan kasimuddin(1901-1925), seorang Sultan yang sangat dicintai oleh rakyatnya dan dikenal sangat dekat dengan para ulama, beliau amat gigih melawan pengaruh Belanda di Bulungan, Hal itu tergambar dari ucapannya yang sangat terkenal saat ia menghentikan kebiasaan protokoler yang mengharuskan Sultan menjemput di dermaga ketika pejabat Belanda hendak berkunjung ke isana raja;

“kalau kami sendiri harus menjemput tuan Belanda dari kapal untuk menghadap raja, maka raja mana lagi yang harus dikunjungi, karena saya adalah raja !,“

(teras luar mesjid Kasimuddin, ditempat inilah anak-anak biasanya mengaji Al-Qur'an)

Menurut H. E. Mohd Hasan, dkk, Mesjid Kasimuddin di Bangun sekitar tahun 1900-an, letaknya tak begiru jauh dari bekas mesjid pertama yang dibangun oleh Sultan Datu Alam Muhammad Adil yang berada di dekat tepi sungai Kayan.

Konon pengerjaan mesjid ini langsung diawasi oleh sultan sendiri. asal lokasi tempat mendirikan mesjid kasimuddin, menurut sumber tertulis letaknya kurang lebih 150 meter ke arah darat dari lokasi mesjid pertama, ini artinya dahulu mesjid tua sebelum mesjid Kasimuddin di bangun, lokasinya sangat dekat sekali dari pinggir sungai, sehingga mungkin di khawatirkan pondasinya bisa rubuh dan membahayakan jemaah. kondisi tanah agak becek karena berupa tanah rawa sehingga masyarakat bergotong royong membersihkan dan menimbunnya. uniknya waktu penimbunan tanah pada siang hari untuk kaum laki-laki sedangkan pada malam hari dikerjakan oleh kaum wanita. tidak hanya masyarakat biasa, Sultan Kasimuddin, beserta staf istana dan pegawai mesjid juga turut terlibat penuh dalam pembangunan mesjid bersejarah ini.

(suasana hening dan tenang didalam mesjid Kasimuddin)

Mesjid Kasimuddin memiliki luas 21 X 21 meter dengan model bangunan lama mempunyai tiang penyangga langsung ditengah berjumlah 16 buah yang panjangnya kurang lebih 20 meter dengan besar 25 X 25 centi meter. Mesjid Kasimuddin memiliki 12 buah daun pintu yaitu: 3 buah daun pintu di depan, 3 buah daun pintu di kiri dan 3 buah di kanan masjid, dan 2 dua buah daun pintu lagi di belakang dekat mimbar menghadap ke kompleks kuburan Sultan Bulungan dan keluarga. Pada awalnya lantainya hanya dilapisi oleh tikar, kemudian dengan biaya Sultan Kasimuddin sendiri lantai tersebut dipercantik dengan tehel (marmer) sampai sekarang. Sumber lain menyebutkan marmer dimesjid Kasimuddin diperindah ulang dimasa Sultan Djalaluddin. Juga tak kalah menariknya seni kaligrafi Islam, Khat yang sangat indah bisa dijumpai disetiap sisi dalam mesjid bersejarah ini.

Relasi Mesjid dan Istana.

Dimasa lampau, mesjid Kasimuddin memiliki relasi yang kuat dengan istana Bulungan. pada awalnya para imam mesjid dipilih beradasarkan garis darah turun temurun alias garis keturunan yang terpilih. ini artinya jabatan imam dimasa lampau merupakan jabatan penting yang bersifat otonom, dimana istana tidak ikut campur namun tetap mengakui eksistenisi dan kepemimpinan Imam mesjid tersebut.

(tiga belas pejabat keagamaan yang di lantik oleh Sultan Djalaluddin di Istanan Bulungan pada tahun 1933, penujukan dan penetapan Mufti, Qadi dan para Imam ini, merupakan kelangsungan dari tradisi yang dijalankan dimasa Sultan Kasimuddin. Penulis mencoba menelusuri sejarah para Qadi dimasa tersebut berdasarkan sumber lokaL, kemungkinan besar Qadi yang dilantik adalah Hadji Baha'Uddin, ulama asal Minangkabau, sedangkan Mufti kemungkinan besar adalah Hadji Syahabuddin Ambo' Tuwo, ulama asal Wajo yang juga guru mengaji di Istana Bulungan tempo dulu.)

Hal ini dapat dipahami, bahwa ada semacam pandangan bahwa jabatan seorang imam akan lebih baik jika diturunkan pada generasi keluarganya, tentu bukan hanya soal asal usul keluarga namun juga karena pemahaman tentang agama islam mereka yang mumpuni diatas rata-rata masyarakat biasa. Hal ini setidaknya terjadi sebelum reformasi total yang dilakukan oleh Sultan Kasimuddin.

Dimasa Sultan Kasimuddin berkuasa, ia melakukan langkah-langkah penting melakukan islamisasi politik di dalam istana, jabatan keagamaan disatukan dalam satu jawatan dimana Mufti Negeri, Qadi dan Imam Besar memiliki peran dan pengaruh yang semakin besar untuk melakukan pembinaan terhadap umat, namun disisi lain jabatan ini,-Khususnya Imam Besar- tidak lagi otonom karena istana akhirnya masuk lebih jauh lagi.

Dizaman kesultanan, khususnya pada bulan-bulan hijriyah yang penting, ada semacam tradisi berkumpulnya para pemuka agama dan masyarakat serta kerabat kesultanan di istana Bulungan, biasanya diawali dengan tembakan salvo "Meriam Sebenua", khususnya pada awal dan akhir Ramadhan serta malam 1 Syawal.

(ukiran khat yang indah pada langit-langit mesjid Kasimuddin, disinilah agama dan seni menemukan kata sepakat)

Sehari menjelang awal Ramadhan, semua pengawai mesjid termasuk khususnya yang termasuk dalam jawatan agama islam, berkumpul bersama di istana untuk mengadakan tahlilan menyambut ramadhan. selesai acara Sultan biasanya memberikan uang panjar kepada pegawai mesjid atau jawatan keagamaan dimana Qadi dan juga Mufti 35 gulden para Imam 25 gulden, khatib 15 gulden dan Santri 10 gulden. selama Ramadhan seluruh pegawai mesjid dan staf istana tidak ada yang meninggalkan tempat khususelaksanakan tugasnya. sepanjang malam biasanya mesjid ramai dengan acara Tadarus Al-Qur'an baik di Mesjid Kasimuddin maupun istana raja, bahkan makan untuk yang mengaji atau tadarus alquran langsung ditanggung oleh istana, sepanjang Ramdhan Kesultanan juga menyediakan buka puasa dimesjid dan istana Bulungan.

Pada pertengahan Ramadhan, oleh pegawai mesjid besar diadakan acara khataman Al-Qur'an di istana, biasanya mereka kemudian akan diberi hadiah uang panjar, kataman juga dilakukan diakhir bulan ramadhan sekaligus pembagian zakat fitrah oleh pegawai mesjid.

Setiap tanggal 27 ramadhan Sultan mengeluarkan Zakat Maal (harta) dimesjid, tempat sembahyang Tarwih juga disediakan tidak hanya di dalam, namun juga diluar mesjid.

Benda-benda peninggalan di dalam Mesjid Kasimuddin.

peninggalan-peninggalan bersejarah dapat pula kita temui dimesjid ini, diantaranya adalah Beduk dan Mimbar mesjid yang usianya sudah ratusan tahun.

(tampak dari depan tabuh keramat mesjid Kasimuddin)

Beduk di mesjid ini merupakan salah satu peninggalan Islam di Bulungan. Beduk tersebut sekarang ini tersimpan di teras Mesjid Sultan Kasimuddin, usianya diperkirakan lebih dari 200 tahun namun sampai hari ini kayunya masih bagus, menurut kisah yang beredar, beduk tersebut merupakan potongan kayu tabuh (beduk) di mesjid tua yang berada di Baratan.

Konon kayu ini hanyut dari hulu dan terdampar didalam parit dekat lokasi mesjid kasimuddin saat ini, kayu tersebut sudah berbentuk beduk dari awalnya. Maka oleh ketua-ketua kampunga, potongan kayu beduk yang mereka sebut "nenek kayu" tersebut mereka jadikan tabuh mesjid agung tersebut.

Riwayat lain menceritakan ada satu masa orang-orang yang tinggal di hilir kampung Penisir, dihulunya kampung Baratan sekarang, pada malam tanggal 15 bulan Hijriyah yang bertepatan dengan malam jumat, pada tengah malam sering terdengar suara pukulan tabuh atau beduk berirama panjang dan bertalu-talu, kesaksian lain dari masyarakat bahwa disungai pernah dilihat oleh masyarakat berupa dahan-dahan kayu yang masih hidup timbul dan mudik melawan arus air, kemudian tenggelam lagi ke lokasi asalnya, potongan kayu tersebut dipercayai berasal dari lokasi yang sama dimana terlihat fenomena potongan kayu yang melawan arus tersebut.

(ukuran panjang keseluruhan beduk Mesjid Kasimuddin)

Penulis telah melakukan pengukuran terhadap beduk tersebut pada tanggal 13 Januari 2009 jam 04.20 Wita, hasilnya diketahui beduk tersebut memiliki panjang 274 cm, dengan diameter garis tengah 47 cm, dan memiliki ketebalan kayu sekitar 1 inci atau 2,4 cm.

Selain tabuh atau beduk, benda bersejarah lainnya adalah Mimbar yang saat ini terdapat didalam Mesjid Sultan Kasimuddin, merupakan mimbar yang cukup tua umurnya, keistimewaan dari mimbar ini adalah ia sepenuhnya merupakan representasi dari seni ukir Bulungan yang begitu indah.

Pola hias berupa dedaunan sangat menonjol dihampir semua bagian mimbar terutama pada tangga mimbar, kepala mimbar, bagian dalam mimbar yang semuanya diukir dengan sangat teliti serta dilapisi cat berwarna keemasan, mimbar Mesjid Sultan Kasimuddin merupakan salah masterpiech yang sampai sat ini masih dapat dinikmati keindahan dan keberadaannya. Menurut penuturan sumber lokal, mimbar tersebut dibuat dan dihadiahkan oleh seorang kerabat Kesultanan yang sangat ahli dalam seni ukir Bulungan.

(keindahan ukiran pada mimbar mesjid Kasimuddin, salah satu mahakarya Bulungan yang masih bisa kita saksikan hari ini)

demikianlah selayang pandang sejarah mesjid Kasimuddin, semoga kita, generasi mudah bisa lebih menghargai nilai-nilai luhur yang ditinggalkan oleh orang-orang sebelum kita.

Sumber:

H.E. Mohd. Hassan, ddk.“Sejarah Masuknya Islam di Kabupaten Bulungan”,Tanjung Selor 26 November 1981.

Catatan hasil ukuran beduk mesjid kasimuddin, 13 Januari 2009 jam 04.20 Wita, oleh Muhammad Zarkasy. lokasi Mesjid Sultan Kasimuddin Tanjung Palas.

Foto:

Koleksi pribadi Muhammad Zarkasy.

Koleksi Siti Harna Hamad.






Menikmati Keindahan Gua Gunung Putih.


Gunung Putih, begitulah orang-orang sering menyebut salah satu objek wisata yang terkenal di kabupaten bulungan ini. Tempat ini merupakan Gunungan Kapur yang merupakan ikon penting bagi Tanjung Palas yang pada masanya dahulu merupakan ibukota salah satu kesultanan yang paling berpengaruh di utara Kaltim.

Siapapun yang berkunjung ke bulungan, khususnya melewati jalur sungai, jika dari kejauhan melihat Gunung Putih, maka orang-orang akan mahfum jika mereka sudah dekat dengan gerbang Kota tanjung Selor sekaligus memasuki pusat kebudayaan bulungan di Tanjung Palas.

Itulah sebabnya ada semacam pandangan bahwa dimasa lampau ada keterikatan yang penting antara Istana kesultanan Bulungan dengan Gunung putih, keduanya memiliki ikatan yang erat karena bagi sebagian orang bulungan percaya bahwa sejarah Bulungan bukan hanya berbicara mengenai manusia dan segala aktivitas keduniaannya namun juga berbicara antara manusia dengan dunia lain yang ada disekitar mereka, atau dalam bahasa sederhanya mereka percaya sebagian sejarah bulungan dibentuk berdasarkan sejarah mistis, dan gunung putih merupakan salah satu tempat yang dipercayai dihuni oleh mahluk lain sekitar kita yang memiliki keterikatan penting dengan istana bulungan dimasa lampau sekaligus memberi warna tersendiri dalam sejarah mistis bulungan.

Pemandangan Eksotis Gunung Putih.

Dewasa ini gunung putih merupakan salah satu tempat yang paling banyak dikunjungi sekedar melepas lelah, keindahan gunung putih memang sangat natural, kita disuguhi keindahan pemandangan yang menyejukan mata, ada sungai kecil disisi gunung, kemudian bebatuan yang ukuran cukup besar serta pemandangan hijau yang menyenangkan.

Untuk sampai ke puncak gunung, kita bisa melewati gundukan anak tangga yang lumayan cukup panjang, cocok bagi penggemar Hiking, selain itu jika sudah sampai di teras gunung, pengunjung dapat menikmati pemandangan sambil duduk-duduk santai diatas gudukan bebatuan yang cukup besar, tempat ini bisa juga digunakan sebagai tempat alami menantang adrenalin untuk para pemanjat tebing.

ada dua titik utama yang biasa di kunjungi orang di gunung putih, yaitu dipuncak gunung yang paling tinggi, dari atas sana kita bisa memandang hamparan perumahan penduduk, biasanya para pencinta alam tidak akan melewati momen yang indah itu.

Titik lain yang juga dikunjungi adalah gua bawah tanah yang teletak dibelakang lereng gunung, untuk sampai kesana mungkin sekitar 10 sampai 15 menit dari teras gunung, jalan memutari gunung memberikan pemandangan yang asri bagi pengunjung, sebab dari sisi gunung tersebut belum banyak terjamah tangan-tangan manusia, sehingga menambah keindahan pemandangan di bawahnya. Jalan-jalan yang sudah disemenisasi semakin memanjakan pengunjung untuk menikmati keindahan lereng gunung masih natural tersebut.

Mengintip keindahan gua gunung putih.

Umumnya para pengunjung biasanya berhenti di depan gua, jarang ada yang masuk hingga ke dalam, beberapa tahun belakang ini Pihak Pariwisata Kabupaten Bulungan dan pihak pengembang berusaha melakukan eksplor lebih jauh memasuki dalam gunung, walaupun sejauh ini masih belum cukup terbuka untuk umum karena masih mengalami perbaikan disana sini.

Penulis termasuk yang cukup beruntung menyaksikan keindahan pemandangan bawah tanah gunung putih. Sebelum masuk melalui pintu gua, biasanya ada semacam hawa dingin yang dirasakan pengunjung, disarankan untuk menjaga sikap begitu memasuki area tersebut.

Penulis sendiri pernah melakukan kegiatan susur gua bersama beberapa rekan saat masih kuliah tingkat sarjana sewaktu mengunjungi gua-gua bawah tanah yang alami di kabupaten Tanah Laut, pemandangan digunung putih tak kalah menakjubkan mengingat kawasan ini memang jarang dimasuki manusia.

Untuk memudahkan memasuki gua kita melewati anak tangga yang telah di buat oleh pihak pengembang, dari situ kita sudah disuguhi keindahan lukisan alami yang sangat indah, lengkung gua yang dipadukan hamparan stalagmit memberikan sensasi pengalaman tersendiri.

Ada sedikitnya 42 titik lampu sorot yang di tempatkan pihak pengembang untuk memudahkan dan memandu pengunjung di dalam gua tersebut, ada semacam undakan yang cukup luas di dalam gua, kita masih bisa turun lebih dalam lagi bila berminat, hanya saja menurut penulis masih perlu perbaikan sedikit khususnya jalan berada dibagian bawah dasar gua.

Dari kejauhan kita mendengar suara burung walet, kerena memang kawasan ini merupakan sarang alami bagi burung-burung tersebut, sejauh ini pihak pengembang maupun pengunjung belum ada yang mencoba lebih jauh untuk memetakan labirin-labirin didalam gua, masih banyak misteri yang belum terpecahkan dan masih banyak lagi petualangan yang masih menanti untuk di jelajahi.













Banyak Ditemukan Makam Wali di Bulungan

Korankaltim.co.id - Jum'at, 26 November 2010


(komplek makam Syech Maulana Al-Maghribi, foto koleksi pribadi)

BULUNGAN – Banyak kalangan pemikir berpendapat, bahwa daerah Bulungan dahulu kala merupakan negerinya para Wali Allah SWT. Serta menjadi daerah penyebaran agama Islam pertama diwilayah utara Kalimantan Timur dan sekitarnya.

Pendapat mereka ini diperkuat dengan banyaknya makam para alim ulama yang tersebar dibeberapa kecamatan. Seperti makamnya Syech Maulana Al-Maghribi, Sultan Iskandar, Syech Al-Juhri, Habib Abdullah Al-Jufrie dan Habib Ali Al-Idrus di Desa Salimbatu, Kecamatan Tanjung Palas Tengah.

Sementara di Kecamatan Sekatak terdapat makam ulama perempuan bernama Syarifah Aminah Al-Idrus. Sedangkan dikampung Penisir kecamatan Tanjung Palas masih bisa kita jumpai makam Habib Achmad Alkaromah dan Habib Muhammad Alkaf, serta Habib Abdurachman Bilfaqih di Desa Gunung Seriang Kecamatan Tanjung Selor.

Menurut para tetua yang bermukim di kampung Penisir, khusus makam Habib Achmad Alkaromah ini pertama kali berada persis di perkampungan warga sekarang. Namun entah karena apa, makam tersebut berpindah diseberang perkampungan mereka.

Pendapat lain bahwa Bulungan adalah tempat pertama kali agama Islam menyebar ini bisa diyakini dengan masih berdirinya Masjid Sultan Kasimuddin di Tanjung Palas. Sarana ibadah bagi umat islam ini pertama kali dibangun pada tahun seribu delapan ratusan oleh Sultan Kasimuddin salah satu Sultan yang pernah memerintah di keraton Kesultanan Bulungan.

Keterangan yang berhasil dihimpun Koran Kaltim juga menyebutkan, kuatnya siar Islam didaerah ini karena didukung oleh pemerintatah kesultanan Bulungan, dimana kesultanan Bulungan dimaksud pertama kali berdiri pemerintahannya di Desa Salimbatu kecamatan Tanjung Palas Tengah. Lalu berpindah ke kampung Baratan desa Gunung Seriang, hingga terbangunnya keraton yang refresentatif di Tanjung Palas.

Selain itu, karena syiar Islam yang dibawa para Wali Allah ini berhasil masuk kekerabat kesultanan, sehingga gaungnya mulai kian besar dan menyebar dikalangan masyarakat jelata. Maka tak heran hampir sembilan puluh sembilan persen warga Bulungan dipesisir pantai kebanyakan menganut agama Islam. (sah). 
Sumber: http://muhzarkasy-bulungan.blogspot.com

Bangkai Kapal Warmond Perlu Diangkat


Korankaltim.co.id - Senin, 30 Mei 2011


BULUNGAN – Kapal MV Warmond milik kesultanan Bulungan yang tenggelam di dasar sungai Kayan hampir setengah abad silam, belum juga kunjung diangkat ke permukaan. Padahal MV Warmond merupakan salah satu dari beberapa benda milik Kesultanan Bulungan yang masih tersisa dan mendesak untuk diangkat agar bisa disaksikan oleh generasi muda sekarang.

Menurut H Hamka M Wakil Ketua DPRD Bulungan, setelah sirnanya keraton kesultanan yang dibakar oleh oknum PKI pada tahun 1965 silam, hanya kapal Warmond lah benda asli milik kesultanan yang masih bisa disaksikan. Selebihnya yang ada sekarang hanya tinggal duplikat saja, sehingga nilai historisnya belum mampu membangun semangat generasi muda untuk lebih serius menggali sejarahnya lebih dalam lagi.

Selain memiliki keunikan kata Hamka, seluruh badan kapal Warmond dimaksud terbuat dari besi putih anti karat. Sehingga akan menjadi suatu pemandangan yang menakjubkan bagi siapa saja yang akan melihatnya, ke depan keberadaanya dipastikan mampu untuk menarik para wisatawan ke Bulungan.

“Kalau saja nantinya kapal Warmond bisa kita apungkan ke permukaan sungai. Saya optimis para keturunan pembuat kapal dari negeri Belanda ini akan berbondong-bondong datang ke Bulungan guna melihat dari dekat karya nenek moyang mereka, “ ujar Hamka.

Tidak secara langsung nantinya mereka (orang Belanda, Red) juga akan membelanjakan uang milik mereka di Bulungan. Lalu membawa cerita indah ke negeri asalnya kepada warga masyarakat disana, dengan demikian maka secara langung melalui pesona Warmond Kabupaten Bulungan akan dapat dikenal luas hingga ke manca negara lainnya.

Selain mengangkat bangkai kapal Warmond, penataan objek wisata alam Gunung Putih dan wisata budaya di desa Teras Baru juga wajib diperhatikan oleh pemerintah, supaya keberadaanya dapat menjadi kunjungan alternatif para wisatawan yang rutin berkunjung ke Bulungan pada setiap tahunnya.

“Saya sangat optimis sekali apabila wisata alam Gunung Putih dan wisata alam lainnya dipoles seindah mungkin, menjadi tempat kunjungan setiap akhir pekan bagi warga sekitar maupun warga lain dari luar daerah, “ kata Hamka.

Perhatian pemerintah terhadap beberapa tempat wisata religi juga wajib diberikan, seperti keberadaan makam karomah Syeh Maulana al Magribhi atau Syeh Abdudurach-man Al- Idrus, yang lebih dikenal di Bulungan dengan sebutan makam keramat desa Salimbatu.

Minimal kata Hamka untuk akses jalan menuju makam karomah dapat dipermudah, teruta-ma warga dari luar desa Salimbatu yang berkunjung melewati jalan darat kesana.

“Beberapa makam karomah lainnya juga wajib menjadi perhatian, contohmya makam karomah yang ada di desa Baratan dan beberapa desa lainnya. Tujuannya, agar warga mayarakat yang ingin melakukan ziarah dapat memperoleh kesan yang baik dan selalu ingin kembali untuk mengunjunginya, “ ujar Hamka. (sah/advhumasdprd)

Nostalgia Tanjung Selor Tempo Doeloe.

Gempar (Gema Parlemen) Edisi Perdana April 2008, Buletin DPRD Kabupaten Bulungan, Nostalgia, hal. 32-33.



(Pelabuhan atau 'Boom' kota Tanjung Selor jaman bahari)

Kemajuan teknologi telah memecut laju pembangunan semakin berlari kencang. Beberapa perubahan perwajahan kota sangat signifikan di hampir semua sudut kota Tanjung Selor. Bahkan untuk mengingat rumah-rumah tua dan batas alam sebagai batas-batas kampung seperti batas Kampung Arab dengan Kampung Pasar. Selor dengan Kampung Baru, Kampung Baru dengan Tanah Seribu dan Temiit (sekarang Jelarai) tidak saja membingungkan masyarakat asli Tanjung Selor tapi juga mereka yang awalnya lahir di Tanjung Selor kemudian merantau melanjutkan sekolah atau bekerja banyak yang lupa.

Apalagi para pendatang yang sempat singgah sekira 5 atau 10 tahun lalu benar-benar terperangah alias pangling atas perubahan drastis. “Saya kaget dan sempat kesasar, jalan-jalan disini sudah tembus kemana-mana dan bangunan megah sudah menjamur disepanjang jalan-jalan utama yang dulu hanya jalan berbatu dan berlumpur” tutur Jamal yang saat masih kecil sempat belajar mengaji di surau (langgar) Al-Inayah, Kampung Tanah Seribu.

Sebagai salah satu kampung tertua di Tanjung Selor sebutlah Tanah Seribu yang batasnya di mulai dari bangunan ‘Gedung Semambu’ (sekarang kantor Perusda). Disebut demikian karena bangunan itu menjadi satu-satunya gudang tempat penyimpanan atau mengumpulkan bambu jenis semambu sebelum dikirim ke Tarakan atau Ke Jawa. Dari batas inilah kampung Tanah Seribu mulai dan berakhir di ‘ujung aspal’ persis jalan Nangka sekarang. Sedangkan ke timur berbatasan dengan jalan Langsat, terus Skip II (Wisma Idaman) jalan Makam Pahlawan (Crown Square) belok ke Jalan H. Maskur selanjutnya berakhir ke jalan menuju pasar ikan lama yang terletak di depan toko batu.

Tetua-tetua kampung Tanah Seribu yang dulu dikenal sebagian besar telah meninggal dunia antara lain Moh. Galeba, Haji Enci Muhammad Hasan, Saleh, Haji Muhammad Arif, M. Ukuy dan masih banyak lagi. Sedangkan bangunan paling monumental di kampung tersebut adalah langgar Al-Inayah yang sudah direnovasi lebih dari 3 kali dan juga Gedung Semambu dan Gedung Asap.

Semua bangunan monumental tersebut sudah tidak dijumpai lagi ke asliannya, kecuali langgar Al-Inayah yang sudah beberapa kali diperbaharui dan gudang semambu yang sudah di renovasi menjadi asrama pelajar dan terakhir kini menjadi Kantor Perusahaan Daerah Berdikari dan satu lagi tempat bersejarah, dulu di Tanah Seribu ini terdapat Taman Makam Pahlawan yang oleh pemerintah di pindah ke samping bandara Tanjung Harapan menjadi Taman Makam Pahlawan Telabang Bangsa sampai sekarang. Sedangkan bekas Taman Makam pahlawan yang dulu, sekarang telah menjadi pusat perdagangan kaki lima (sekarang bangunan lapakan, berderetan dengan penginapan Bulungan indah).

Mengenal Tanjung Selor tempo dulu bila dibanding dengan keadaan sekarang tentu menyimpan sejuta kenangan bagi setiap orang yang pernah mengalaminya. Tak sedikit pula perubahan terkadang telah membuat goresan kesedihan karena tempat-tempat yang dulu menjadi memori indah dan manis kini hanya tinggal kenangan, bahkan tanpa meninggalkan kesan dan bekas secuil pun. Itulah kemudian lahir slogan “Tiada pembangunan tanpa pengorbanan”. Semoga kenangan dan pengorbanan akan menjadi semangat pembangunan Kota Ibadah.

Hikayat Daerah Istimewa Bulungan


(Sultan Maulana Muhammad Djalaluddin, Kepala Istimewa Daerah Bulungan yang pertama sekaligus yang terakhir)

Bicara tentang sejarah lawas modern Bulungan, khususnya mengenai sejarah Daerah Istimewa Bulungan dimasa lampau, tak banyak memang generasi muda yang mengenalnya.

Hikayat mengenai sejarah Daerah istimewa bulungan memang tak dapat dilepaskan dari peran Kesultanan bulungan yang gigih mendukung kemerdekaan Indonesia, karena memang pada faktanya status daerah Istimewa bukan diminta, namun diberi oleh negara Republik Indonesia melalui persetujuan pemerintah pusat.

Dalam catatan sejarah Bulungan, kepala daerah pertama sekaligus terakhir adalah Sultan Maulana Muhammad Djalaluddin, beliau adalah seorang tokoh sejarah yang telah melewati tiga masa sekaligus yaitu zaman belanda, zaman jepang dan era kemerdekaan.

Sultan Muhammad Djaluddin beserta para mentri Khususnya Datuk Bendahara paduka Raja, begitu gigih melawan kehendak belanda di bulungan melalui jalaur diplomasi, dalam sejarah Bendahara Paduka raja atas mandat Sultan Muhammad Djalaluddin – beliau memang tidak disenangi oleh kolonial belanda,- menjalin hubungan rahasia dengan Sultan Gunung Tabur dan Sambaliung di berau untuk mendukung penuh kemerdekaan indonesia, namun pihak kompeni ternyata tak berani menghalangi dengan tegas manuver politik beliau.

(Kantor Kepala Daerah Istimewa Bulungan dalam kenangan)

Demikan pula di tingkatan “akar rumput”, para tokoh pergerakan tak tinggal diam demi menyukseskan integrasi kesultanan bulungan sebagai bagaian dari NKRI tercinta yang kemudian hasil berbuah pada penyatuan Bulungan sebagai bagian dari bangsa indonesia pada 17 Agustus 1949.

Peristiwa ini sendiri digambarkan dengan apik dalam sebuah memorie yang ditulis mengenai kondisi pada saat itu: De anti Nederlandse geest breidde ini de voornaamste gebieden van dit gewest zicht zoodaning uit, dat hetbestuur ijverde voor de invoering van corlog …, de verkiezing van afgvaardigden voor ee Boerneo conferentie word een totale mislukking on kregan de enkele gekezen afgevaardigden Als mandaat mede de aansluiting hij de republik. (semangat anti Belanda telah tersebar luas di daerah ini, sehingga pemerintah berusaha untuk memberlakukan dalam keadaan perang …, Pemilihan utusan ke konfrensi pembentukan negara kalimantan gagal total, karena beberapa utusan yang terpilih memperoleh mandat pengabungan dengan Republik).

Peristiwa ini manjadi era penting masa transisi pemerintahan Kesultanan Bulungan yang telah mengakar berabad lamanya. Setelah bergabung dengan RI, posisi Kesultanan Bulungan sebagai wilayah swapraja dimantapkan melalui surat Keputusan Gubernur Kalimantan Timur Nomor 186 / ORB / 92 / 14 tertanggal 14 Agustus 1950 yang kemudian disahkan menjadi UU Darurat 3 / 1953 dari pemerintah Negara RI. Kemudian wilayah Bulungan berdasarkan UU N0. 22 /1948 menjadi Daerah Istimewa Bulungan. Keputusan itu membuat Sultan Djalaluddin dimandatkan oleh negara Republik Indonesia menjadi Kepala Daerah Istimewa yang pertama sekaligus yang terakhir hingga akhir hayatnya tahun 1958.

Dimasa transisi pemerintahan seperti ini, kerena tak memiliki gedung pemerintahan yang memadai, Kepala Daerah istimewa saat itu, maulana Muhammad Djalaluddin kemudian menetapkan istana Bulungan yang tinggkat dua itu sebagai gedung kepala daerah istimewa dimana semua kegiatan pemerintahan dipusatkan di istana, jadi sesungguhnya sistem satu atap dalam pola pemerintahan sejarah modern Bulungan memang bukan hal yang baru.

Masyarakat Bulungan memang dikenal cukup terbuka dengan hal-hal baru demikian dengan berorganisasi dan politik, menariknya walau telah lama hidup dalam suana kesultanan yang memang masih bernuansa monarky namun Sultan tak pernah menggunakan hak dan kekuasaannya untuk melarang rakyatnya dalam kegiatan politik praktis, perubahan yang mulus menang tak lepas kepemimpinan akhir Sultan Djalaluddin yang kharismatik. Menariknya pemerintah pusat sendiri baru berani mencabut status hal istimewa Bulungan setelah almarhum berpulang ke rahmatullah pada tahun 1958.

(pengaruh belanda makin terkikis setelah penyerahan kedaulatan dan masuknya Kesultanan Bulungan secara sah kepangkuan NKRI)

Setahun kemudian tepatnya setelah UU Nomor 27 tahun 1959 disahkan, berakhirlah status daerah istimewa Bulungan. Sebelumnya telah dibentuk Dewan Perwakilan Rakyat pertama di Bulungan yang diketuai oleh Muhammad Zaini Anwar (1955-1959). Pada tanggal 12 oktober 1960, dilantik Bupati pertama Bulungan Andi Tjatjo Gelar Datuk Wiharja (1960-1963) yang juga masih kerabat Kesultanan Bulungan. Dimasa beliau ini Ibu kota Kabupaten Bulungan di pindah dari Tanjung Palas ke tanjung Selor.

Bukti sejarah Daerah Istimewa Bulungan

Sama seperti banyaknya sejarah yang terlupa, era transisi dari Monarky ke Republik yang juga di tandai masa sebagai daerah Istimewa dalam sejarah modern Kabupaten Bulungan ternyata tak banyak diketahui dan didokumentasi dengan baik.

Kita kehilangan banyak memory mengenai sejarah Daerah istimewa Bulungan tanpa melihat bukti nyata bahwa sejarah yang mengagumkan itu ada. Jatuhnya istana Bulungan di tahun 1964 menambah catatan panjang kehilangan memory kolektif mengenai masa yang singkat namun penting ini.

Umumnya sejauh yang dapat dipaparkan oleh banyak nara sumber yang saya temui, umumnya mereka mengatakan bukti sejarah tersebut dapat merujuk pada foto-foto peninggalan bersejarah berupa istana tingkat dua yang sempat menjadi kantor kepala daerah Istimewa bulungan waktu itu, sejauh ini itu saja bukti yang umumnya dapat tunjukan. Bukti-buki fisik lain berupa palang nama daerah istimewa Bulungan pun beserta istana yang telah disebut tadi sudah tak ada lagi rupanya.

Pun demikian pula dokumen-dokumen dan surat-surat penting di istana, sulit untuk untuk menemukannya karena memang bisa jadi sudah tercerai berai dan sebagaian tak lagi dapat di baca. Ada kah bukti-bukti lain yang dapat menjalaskan kepada generasi mendatang kita bahwa Daerah Istimewa Bulungan itu memang pernah ada?

(Dokumen sejarah 15 Djuli 1951, dokumen penting sejarah Daerah Istimewa Bulungan)

Penelusuran saya mengenai sejarah Daerah Istimewa Bulungan, cukup panjang riwayatnya, kesulitan menemukan bukti fisik tersebut merupakan kendala utama saat itu.

Saya beruntung pada saat melakukan penelitian mengenai sejarah Mesjid Al-Kaff di kampung arab, secara tak sengaja saya menemukan bukti berharga sejarah yang terawetkan dengan baik oleh tangan-tangan dingin yang menjaganya beberapa puluh tahun lamanya.

Kepada Said Mohammad Al-Jufri, saya patut berterimaksih pada beliau karena mengizinkan saya melihat dan menyimpan copy dari sebagain dokumen penting mengenai sejarah mesjid tertua di Tanjung Selor itu. Salah satu dokumen tersebut bertanggal 15 Djuli 1951. Dokumen ini dibuat sezaman dengan masa Daerah Istimewa Bulungan!

Saya tertegun sewaktu membaca dokumen lawas yang kertasnya sudah buram namun tulisannya masih dapat terbaca dengan baik tersebut. Bagaimana tidak, walaupun isinya menyangkut perluasan mesjid Al-Kaff, namun terlihat jelas surat tersebut direkomensaikan langsung oleh Kepala Daerah Istimewa Bulungan, lengkap dengan cap stempel kepala Daerah Istimewa dan cap stempel Wedana Tandjung Selor.

Dalam dokumen tersebut tertulis nama “M. Mohd. Djalaluddin”, selaku Kepada Daerah Istimewa, “M. D. Purwo Nata”, sebagai Wedana Tandjung Selor, bersama “M. Godal” yang tak lain adalah Kyai Mahfud Godal dan “Enci Chairul Alil” sebagai ketua I dan dan Penulis I dalam pengesahan surat tersebut. belum lagi ejaan yang digunakan, tampak jelas masih menggunakan ejaan lama, saya sempat membandingkan dengan dokumen sejarah yang saya miliki, dokumen itu merupakan copy dari sejarah bulungan yang di tulis oleh Datuk Perdana, kemiripan ejaannya sama, artinya surat itu memang ditulis sekitar tahun 1950-an.

(perhatikan baik-baik cap stampel dalam dokumen tersebut, terlihat jelas tulisan Daerah Istimewa Bulungan, pun lihat juga nama dalam tanda tangan tersebut, M. Mohd. Djalaluddin, Sultan Bulungan terakhir dan Kepala Daerah istimewa Bulungan).

Dokumen ini menjadi bukti penting mengenai sejarah Daerah istimewa Bulungan yang tak terbantahkan dan terawat dengan baik. Sulit bagi saya menyembunyikan rasa gembira dan syukur saat menemukan dokumen bercap stempel tersebut, karena sekali lagi kita akhirnya dapat menemukan bukti sejarah tertulis mengenai sejarah Daerah Istimewa Bulungan yang sebelumnya hanya saya dengar tanpa saya melihat langsung bukti fisik dan dokumen yang menyertainya. Lebih jauh kita memang dapat membuktikan bahwa sejarah Daerah Istimewa Bulungan itu memang benar-benar ada bukan sekedar isapan jempol belaka!.

Sumber: http://muhzarkasy-bulungan.blogspot.com

Asal –Usul Nama Suku Bulungan Dalam Legenda Masyarakat.



Sejarah terbentuknya sebuah Masyarakat di Kalimantan timur, Khususnya Bulungan tidak lepas dari cerita Legenda asal-usul keberadaan mereka. Cerita-cerita yang berisi tentang kisah orang-orang terkemuka diantara mereka maupun peristiwa-peristiwa penting lainnya disampaikan dari mulut kemulut selama beberapa generasi. Hal ini dapat dipahami karena Suku Bulungan pada dasarnya adalah suku bangsa penutur (menyampaikan sebuah peristiwa dengan cara dilisankan, Oral Tradition), oleh karena itu, mereka tidak memiliki abjad atau alfabet tersendiri, setelah agama islam masuk dan berkembang di Bulungan serta dipeluk oleh mayoritas suku Bulungan, barulah mereka mengenal tulis-menulis huruf arab murni maupun huruf Jawi (arab-melayu).

Konon cerita asal-usul suku Bulungan dimulai dari kisah kehidupan Ku Anyi, Ku Anyi adalah seorang kepala Suku Dayak Hupan (Dayak Kayan Uma Apan) mereka tinggal di hilir Sungai Kayan, mula-mula mendiami sebuah perkampungan kecil yang penghuninya hanya terdiri atas kurang lebih 80 jiwa di tepi Sungai Payang, cabang Sungai Pujungan.

Hingga masa tuanya Ku Anyi ternyata belum dikaruniai seorang anak. ketika suatu hari, pada saat Ku Anyi berburu di hutan, ia mendengar suara aneh. Anjing berburunya menyalak keras kearah sebatang bambu betung dan sebutir telur diatas pohon Jemlai. Karena rasa penasarannya, bambu betung dan sebutir telur tersebut dibawanya pulang dan diletakan di perapian dapur. Keesokan harinya kedua benda tersebut berubah menjadi dua sosok bayi mungil laki-laki dan perempuan. Akhirnya, Ku Anyi dan Istrinya memberikan nama Jau Iru yang artinya “si Guntur Besar” pada bayi laki-laki dan Lemlai Suri pada bayi perempuan tersebut, keduanya dipelihara dengan baik hingga dewasa.

Peristiwa aneh ini oleh masyarakat dinamakan Bulongan (bambu dan telur), pada perkembanganya menjadi Bulungan. Versi lainnya menyebutkan Bulungan berasal dari perkataan “ Bulu Tengon”, karena perubahan dialek dari bahasa bulungan kuno ke bahasa melayu menjadi Bulungan. sebutan ini digunakan sampai saat ini.

Karena keduanya bukan saudara Kandung maka merekapun dinikahkan oleh Jua Anyi. Sejak itu keturunan dari pasangan Jau Iru dan Lemlai Suri menjadi pemimpin suku beturut-turut mulai dari Putranya Jau Anyi kemudian Paren Jau, Paren Anyi, Putri Pren Anyi yaitu Lahai Bara yang bersuamikan Wan Peren.

Pada masa pemerintahan Lahai Bara, menurut penuturan sumber Tradisonal masyarakat suku Bulungan, terjadi sebuah peristiwa ajaib, ini terjadi pada saat kematian ayahnya Paren Anyi tiba, Peren Anyi berpesan pada putrinya Lahai Bara untuk menguburkan jenasahnya didalam sebuah peti (Lungun) kearah hilir sungai Kayan.
Ternyata, saat kematian Paren Anyi tidak seorang pun warga menyimpan perahunya didaratan. Oleh karena itu Lahai Bara berjalan dari pesisir berputar hingga kearah hilir sungai kayan sambil menyerat dayung (besai) miliknya sambil menarik Lungun atau peti mati ayahnya.

Riwayat lain menyebutkan bahwa lahai bara menyeret dayungnya mulai dari tepi sebelah barat menuju tepi sebelah timur Tanjung Sungai Payang, dari situ putuslah tanah bekas goresan dayung tersebut.

Akibatnya, terjadi sebuah keajaiban, bekas seretan dayung Lahai Bara tersebut justru membelah kawasan tersebut dan menghasilkan sebuah daratan baru yang dinamakan Pulau Mayun (Pulau Hanyut). (Pulau ini terletak di muara sungai Batang di Hulu kampong Long Pelban, tempat ini kemudian dianggap keramat oleh para bagsawan Bulungan, akibatnya seorang Controleur van Bulungan bernama Mayers (1921-1922) mengirim sebuah ekspedisi untuk membongkar kawasan pekuburan batu yang terdapat ditempat tersebut dengan tujuan agar kawasan itu dapat dilalui oleh bangsawan Bulungan, namun tidak begitu lama iapun diserang penyakit yang hebat sehari kemudian iapun meninggal dunia).

Selain itu ada pula peninggalan lain, sumber tradisional Bulungan menyebutkan ada sebuah Mandau (parang tradisonal suku dayak) yang bernama Batu Besi Kelu yaitu sejenis obsidian, batu kaca berwarna kehitaman yang terbentuk dari lahar cair yang cepat membeku. Ada pula yang meyebut Batu Besi Kelu merupakan serpihan dari pecahan batu Meteor.

Generasi selanjutnya adalah setelah Lahai Bara adalah Simun Luwan. Simun Luwan memiliki dua orang anak yaitu Sadang dan adik perempuannya yaitu Asung Luwan
Pada masa Sadang tercatat tahun pemerintahannya terjadi pada 1548-1555, sesuai catatan Datuk Mansur. Dari periode inilah babak baru suku Bulungan yang pada masa itu bernama Uma Afan di mulai, yaitu terjadinya pernikahan antara Datuk Mancang, konon seorang Pengeran Brunai dengan Asung Luwan terjadi, dari keturunan dari keduanya inilah yang kemudian menjadi cikal-bakal berdirinya Kesultanan Bulungan.

Asal –Usul Nama Suku Bulungan Dalam Legenda Masyarakat.

Sejarah terbentuknya sebuah Masyarakat di Kalimantan timur, Khususnya Bulungan tidak lepas dari cerita Legenda asal-usul keberadaan mereka. Cerita-cerita yang berisi tentang kisah orang-orang terkemuka diantara mereka maupun peristiwa-peristiwa penting lainnya disampaikan dari mulut kemulut selama beberapa generasi. Hal ini dapat dipahami karena Suku Bulungan pada dasarnya adalah suku bangsa penutur (menyampaikan sebuah peristiwa dengan cara dilisankan, Oral Tradition), oleh karena itu, mereka tidak memiliki abjad atau alfabet tersendiri, setelah agama islam masuk dan berkembang di Bulungan serta dipeluk oleh mayoritas suku Bulungan, barulah mereka mengenal tulis-menulis huruf arab murni maupun huruf Jawi (arab-melayu).

Konon cerita asal-usul suku Bulungan dimulai dari kisah kehidupan Ku Anyi, Ku Anyi adalah seorang kepala Suku Dayak Hupan (Dayak Kayan Uma Apan) mereka tinggal di hilir Sungai Kayan, mula-mula mendiami sebuah perkampungan kecil yang penghuninya hanya terdiri atas kurang lebih 80 jiwa di tepi Sungai Payang, cabang Sungai Pujungan.

Hingga masa tuanya Ku Anyi ternyata belum dikaruniai seorang anak. ketika suatu hari, pada saat Ku Anyi berburu di hutan, ia mendengar suara aneh. Anjing berburunya menyalak keras kearah sebatang bambu betung dan sebutir telur diatas pohon Jemlai. Karena rasa penasarannya, bambu betung dan sebutir telur tersebut dibawanya pulang dan diletakan di perapian dapur. Keesokan harinya kedua benda tersebut berubah menjadi dua sosok bayi mungil laki-laki dan perempuan. Akhirnya, Ku Anyi dan Istrinya memberikan nama Jau Iru yang artinya “si Guntur Besar” pada bayi laki-laki dan Lemlai Suri pada bayi perempuan tersebut, keduanya dipelihara dengan baik hingga dewasa.

Peristiwa aneh ini oleh masyarakat dinamakan Bulongan (bambu dan telur), pada perkembanganya menjadi Bulungan. Versi lainnya menyebutkan Bulungan berasal dari perkataan “ Bulu Tengon”, karena perubahan dialek dari bahasa bulungan kuno ke bahasa melayu menjadi Bulungan. sebutan ini digunakan sampai saat ini.

Karena keduanya bukan saudara Kandung maka merekapun dinikahkan oleh Jua Anyi. Sejak itu keturunan dari pasangan Jau Iru dan Lemlai Suri menjadi pemimpin suku beturut-turut mulai dari Putranya Jau Anyi kemudian Paren Jau, Paren Anyi, Putri Pren Anyi yaitu Lahai Bara yang bersuamikan Wan Peren.

Pada masa pemerintahan Lahai Bara, menurut penuturan sumber Tradisonal masyarakat suku Bulungan, terjadi sebuah peristiwa ajaib, ini terjadi pada saat kematian ayahnya Paren Anyi tiba, Peren Anyi berpesan pada putrinya Lahai Bara untuk menguburkan jenasahnya didalam sebuah peti (Lungun) kearah hilir sungai Kayan.
Ternyata, saat kematian Paren Anyi tidak seorang pun warga menyimpan perahunya didaratan. Oleh karena itu Lahai Bara berjalan dari pesisir berputar hingga kearah hilir sungai kayan sambil menyerat dayung (besai) miliknya sambil menarik Lungun atau peti mati ayahnya.

Riwayat lain menyebutkan bahwa lahai bara menyeret dayungnya mulai dari tepi sebelah barat menuju tepi sebelah timur Tanjung Sungai Payang, dari situ putuslah tanah bekas goresan dayung tersebut.

Akibatnya, terjadi sebuah keajaiban, bekas seretan dayung Lahai Bara tersebut justru membelah kawasan tersebut dan menghasilkan sebuah daratan baru yang dinamakan Pulau Mayun (Pulau Hanyut). (Pulau ini terletak di muara sungai Batang di Hulu kampong Long Pelban, tempat ini kemudian dianggap keramat oleh para bagsawan Bulungan, akibatnya seorang Controleur van Bulungan bernama Mayers (1921-1922) mengirim sebuah ekspedisi untuk membongkar kawasan pekuburan batu yang terdapat ditempat tersebut dengan tujuan agar kawasan itu dapat dilalui oleh bangsawan Bulungan, namun tidak begitu lama iapun diserang penyakit yang hebat sehari kemudian iapun meninggal dunia).

Selain itu ada pula peninggalan lain, sumber tradisional Bulungan menyebutkan ada sebuah Mandau (parang tradisonal suku dayak) yang bernama Batu Besi Kelu yaitu sejenis obsidian, batu kaca berwarna kehitaman yang terbentuk dari lahar cair yang cepat membeku. Ada pula yang meyebut Batu Besi Kelu merupakan serpihan dari pecahan batu Meteor.

Generasi selanjutnya adalah setelah Lahai Bara adalah Simun Luwan. Simun Luwan memiliki dua orang anak yaitu Sadang dan adik perempuannya yaitu Asung Luwan
Pada masa Sadang tercatat tahun pemerintahannya terjadi pada 1548-1555, sesuai catatan Datuk Mansur. Dari periode inilah babak baru suku Bulungan yang pada masa itu bernama Uma Afan di mulai, yaitu terjadinya pernikahan antara Datuk Mancang, konon seorang Pengeran Brunai dengan Asung Luwan terjadi, dari keturunan dari keduanya inilah yang kemudian menjadi cikal-bakal berdirinya Kesultanan Bulungan.

Riwayat Singkat Perdjuangan Keradjaan Bulungan Dalam Menjokong 100 % Tetap Berdiri Dibelakang Pemerintahan Republik Indonesia.

Dalam Tahun 1945 bertepatan dengan jatuhnja Negara Kekaisaran Djepang kedalam tangan Tentara Sekutu. Maka di Djakarta segera diproklamirkan Kemerdekaan Indonesia keseluruh pendjuru dunia pada tanggal 17 Agustus 1945.

Tetapi di daerah lain terutama dalam wilajah Kalimantan Timur, masih bertjokol Tentara Djepang jang masih melakukan perlawanan terhadap sekutu. Pertengahan tahun 1945 oleh pembesar sipil dan Militer Djepang jang mengungsi dari Tarakan ke Bulungan Tandjung Selor, segera mengadakan pesta perpisahan. Selain pembesar2 Djepang jang memang berkedudukan di Tandjung Selor beserta pegawai2nja bangsa Indonesia diundang, dimintai pula oleh Djepang atas kehadiran Bapak Sultan M. M. Djalaluddin beserta para menteri2nja. Oleh karena Bapak Sultan berhalangan ketika itu, maka beliau berwakil kepada Menteri Pertama Keradjaan Bulungan jakni Bapak Datu Muhammad Gelar Datu Bendahara Paduka Radja.

Pesta berlangsung dengan diakhiri berdirinja seorang pembesar Djepang dengan pidato perpisahan jang sangat mengharukan. Diantara pidatonja pembesar Djepang tersebut menjatakan bahwa mereka keseluruhannja sebentar lagi akan meneruskan pengungsiannja ke hulu Bulungan, langsung turun ke kota Samarinda.
si pidato pembesar Djepang tersebut telah mentjapai kalimat jang lebih mengharukan, ketika Bapak Datu Bendahara Paduka Radja diminta berdiri berhadapan dengan pembesar Djepang itu, oleh pembesar Djepang tersebut dengan sikap tegap, hormat dan khidmat sekali segera menjerahkan sebuah bendera sebesar vandal jakni Sang Saka Merah Putih jang disambut kedua belah tangan oleh Bapak Datu Bendahara Paduka Radja, sambil menjerahkan bendera tersebut pembesar Djepang menjatakan bahwa bangsa Indonesia telah merdeka. Dan segala tanggung djawab pemerintahan baik sipil maupun militer dalam wilajah Bulungan pada saat itu diserahkan kepada pemerintah Keradjaan Bulungan untuk meneruskan perdjuangan kemerdekaan serta kemakmuran rakjatnja.

Oleh karena emosi dan rasa haru bertjampur dengan gembira, dengan tidak terasa Bapak Datu Bendahara Paduka Radja menitikan air mata jang tak dapat ditahan2. Meskipun kedjadian ini mendjelaskan babak terakhir dari sandiwara pemerintahan Djepang di Indonesia, tetapi bagi Bapak Datu Bendahara jang sedang berdiri memegang bendera Sang Saka ini, dalam moment itu terkenang kembali, bahwa lebih 70 djuta Rakjat Indonesia jang bernaung dibawah Sang Saka Merah Putih tersebut. Betapa terharunja beliau ketika itu hanja Allah s.w.t jang maha mengetahui.

Setelah pesta berakhir, Bapak Datu Bendahara Paduka Radja segera langsung menemui Bapak Sultan melaporkan kedjadian tersebut. Dengan berdua, beliau memecahkan persoalan ini, sehingga menelorkan satu keputusan tegas jakni “HARUS MERDEKA”.

Mulai pada saat itu disusunlah cara2 dan politik jang tegas untuk menghadapi sesuatu yang bakal terdjadi, apabila tiba waktunja berhadapan dengan sekutu bersama Belandanja jang terang akan kembali dengan seribu satu matjam muslihatnja.



Dalam tahun 1946 Belanda dengan namanja jang terkenal jaitu NICA mentjengkram kukunja dalam wilayah Kalimantan Timur dengan dilindungi angkatannja jang kuat. Meskipun demikian hasrat Merdeka dan ingin bergabung dengan pemerintah Republik Indonesia di Djogdjakarta tetap menjala-njala, sehingga setiap Confrensi jang diadakan NICA dimana-mana, Keradjaan Bulungan tetap berpegang teguh pada dalilnja jang pertama jaitu “HARUS MERDEKA DAN TETAP MENJOKONG 100 % BERDIRI DIBELAKANG PEMERINTAHAN REPUBLIK INDONESIA DI DJOGDJAKARTA”.

Dalam saat2 berikutnja, oleh Bapak Sultan atas kesekian kalinja beliau mengirimi utusan terdiri dari Bapak Datu Bendahara Paduka Radja dan seorang adviseur jaitu Dr. Senduk ke Confrensi DENPASAR dan seterusnja akan menerobos blokade Belanda langsung ke Djogdjakarta untuk segera menjerahkan Mandat Keradjaan Bulungan, jang di sokong pula oleh dua Keradjaan dari Berau.

Setelah Confrensi berakhir, dengan tiba2 Bapak Datu Bendahara Paduka Radja jatuh sakit, pada ketika itu djuga Bapak Datu Bendahara Menjerahkan kuasa kepada Dr, Senduk untuk membawa Mandat tersebut ke Djogdjakarta. Setelah agak sembuh Bapak Datu Bendahara Paduka Radja segera kembali ke Bulungan untuk berobat lebih landjut dan banjak memerlukan banjak istirahat.

Dalam tempo jang singkat Dr. Senduk kembali membawa hasil jang gemilang, dan melaporkan hasil perjalanannja kepada Bapak Sultan dan Bapak Datu Bendahara jang mana Mandat telah diterima oleh Perdana Menteri R.I. jang waktu itu didjabat oleh Alm. Sutan Sjahrir.

Mendengar ini NICA berusaha mentjari siasat baru dan segera menemui Bapak Sultan dengan melarang hadirnja Bapak Datu Bendahara Paduka Radja dalam pertemuan itu (pihak NICA sangat membentji tokoh ini) Dalam pertemuan tersebut pihak NICA Menjampaikan pesan selamat dari Koningin (Ratu) Wihelmina serta mendjelaskan bahwa dalam tempo singkat akan melantik Bapak Sultan sebagai Let. Kol. Alasuit.
Setelah NICA berlalu, Bapak Sultan segera memanggil Bapak Datu Bendahara Paduka Radja serta adviseur Dr. Senduk merundingkan siasat2 NICA tersebut.Dengan adanja ini Bapak Datu 
Bendahara Paduka Radja memberi saran agar apa2 jang disodorkan oleh pihak NICA, kita terima asal politik pendjadjahnja kita tentang dengan politik bebas merdeka, berikut apa2 jang hendak didjualoleh NICA, kita bersedia membelinjadengan tidak menggojahkan semangatperdjuangan semula. Demikianlah bapak Sultan M. M.Djalaluddin menerima pangkat Let. Kol. Alasuit dengan upatjara Militer Laut dan Darat.


etapi dalam awal tahun 1949 politik perdjuangan kemerdekaan dalam setiap tokoh2 Bulungan telah sampai pada puntjaknja. Perundingan diadakan terus menerus kemudian bapak Sultan bersama Bapak Datu Bendahara Paduka Radja memutuskan bahwa sudah tiba saatnja Sang Saka Merah Putih harus dikibarkan dalam wilajah Kerajaan Bulungan.

Pada tanggal 16 ke 17 Agustus jam 21 malam hari Bapak Sultan berdua dengan Bapak Datuk Bendahara Paduka Radja turun menuju halaman Istana Alm. Achmad Sulaiman jang bertingkat dua, untuk memeriksa sekali lagi tiang bendera dan tali temalinja yang telah disediakan sebelumnja. Oleh beliau diperintahkan agar berdjaga-djaga terus tiang bendera sampai besok paginja, agar djangan sampai di saboti oleh NICA.


Pada keesokan harinja tanggal 17 Agustus 1949 segenap rakjat beserta anak-anak sekolah berikut para undangan termasuk NICA komplit dengan Militer KNIL-nja yang memang sengadja diundang untuk turut menghormati upatjara kenaikan Sang Saka Dwi Warna, Bapak Sultan memberi perintah upatjara segera dimulai. Tidak ada kata2 jang dapat melukiskan perasaan para tokoh2 serta rakjat Bulungan ketika menjaksikan Bendera Sang Saka Merah Putih dengan perlahan-lahan naik ke puntjak dan segera berkibar dengan megahnja diangkasa bebas, memeberi pertanda bahwa pendjadjah telah terhapus bersih dari bumi persada Indonesia. Demikianlah Sang Saka Merah Putih terus menerus berkibar selama beberapa hari sehingga pihak NICA perlu mendatangi Istana Tanjung Palas menemui Bapak Sultan dan Bapak Datu Bendahara Paduka Radja, meminta agar bendera tersebut segera diturunkan.

Tetapi kedua tokoh tersebut tetap bertahan, malah memberi perintah jang lebih serius lagi jakni bendera harus berkibar siang malam dengan bersemboyan sekali berkibar tetap berkibar.

“Pilihan NICA hendak mengambil tindakan apa, terserah, kami tetap bersedia menghadapi setiap kemungkinan, bertanggung djawab dan konsekuen atas pendirian kami, kalau Pemerintah Republik Indonesia sekarang ini menghadapi perdjuangan berdarah, maka Bulungan bersedia menghadapi perdjuangan berdarah itu bersama-sama”.

Itulah djawaban perhabisan dari kedua tokoh tersebut jang diakhiri kembalinja pihak NICA membawa ketjewa.

Demikianlah riwajat singkat perdjuangan para tokoh2 Bulungan menghadapi politik pendjadjahan Beladna sehingga terlaksananja penaikan bendera mulai tanggal 17 Agustus 1949 terus menerus sampai penjerahan kedaulatan R. I.

Kemudian harinja dapat diketahui bahwa pada waktu itu belum ada satu wilajah diseluruh Indonesia jang mengibarkan bendera dengan resmi, selain Pusat Pemerintahan Republik Indonesia di Djokdjakarta dan wilajah Kerajaan Bulungan di Kalimantan Timur.

Catatan:
-Pembesar Jepang yang dimaksud bernama Kumatsu.
-Letnan Kolonel Alasuit atau ala Suite (Kraton) yang dikenal juga dengan nama Letnan Kolonel Tituler, merupakan penghargaan yang diberikan kepada orang-orang yang dianggap berjasa oleh Pemerintah Belanda kala itu, walaupun bersifat militer, kebanyakan penerimananya justru bukan dari golongan militer. Jabatan ini diberikan kebanyakan kepada kaum bangsawan yang berada dibawah komando KNIL yang berkedudukan di daerah Swapraja (Vorstenlanden). Dalam catatan Petrik Matanasi, penganugrahan Alasuite atau Tituler kebanyakan diberikan pada bangsawan dari Kraton di Jawa khususnya Kasunanan Surakarta dan Pakualaman Jokjakarta.

Sumber:
Tulisan Datuk Abd. Samad gelar Datuk Bestari bin Alm. Datuk Muhammad gelar Datuk Bendahara Paduka Radja Menteri ke I (De Eerste Landsgroote van Bulungan) dari Kerajaan Bulungan dan Tidung. Dalam “Sejarah Masuknya Islam di Kabupaten Bulungan”, oleh H.E. Mohd. Hassan, ddk. Tanjung Selor 26 November 1981.

Petrik Matanasi (2007), KNIL; Bom Waktu Tinggalan Belanda, Jakarta, PT. Buku Kita.

Foto
Tropenmuseum wikipedia
KITLV
Museum Kesultanan Bulungan.

Foto untuk kamu yg kangen ama pinggiran sei Kayan


















Laman