Dalam Tahun 1945 bertepatan dengan jatuhnja Negara Kekaisaran
Djepang kedalam tangan Tentara Sekutu. Maka di Djakarta segera
diproklamirkan Kemerdekaan Indonesia keseluruh pendjuru dunia pada
tanggal 17 Agustus 1945.
Tetapi di daerah lain terutama dalam wilajah Kalimantan Timur, masih bertjokol Tentara Djepang jang masih melakukan perlawanan terhadap sekutu. Pertengahan tahun 1945 oleh pembesar sipil dan Militer Djepang jang mengungsi dari Tarakan ke Bulungan Tandjung Selor, segera mengadakan pesta perpisahan. Selain pembesar2 Djepang jang memang berkedudukan di Tandjung Selor beserta pegawai2nja bangsa Indonesia diundang, dimintai pula oleh Djepang atas kehadiran Bapak Sultan M. M. Djalaluddin beserta para menteri2nja. Oleh karena Bapak Sultan berhalangan ketika itu, maka beliau berwakil kepada Menteri Pertama Keradjaan Bulungan jakni Bapak Datu Muhammad Gelar Datu Bendahara Paduka Radja.
Pesta berlangsung dengan diakhiri berdirinja seorang pembesar Djepang dengan pidato perpisahan jang sangat mengharukan. Diantara pidatonja pembesar Djepang tersebut menjatakan bahwa mereka keseluruhannja sebentar lagi akan meneruskan pengungsiannja ke hulu Bulungan, langsung turun ke kota Samarinda.
si pidato pembesar Djepang tersebut telah mentjapai kalimat jang lebih
mengharukan, ketika Bapak Datu Bendahara Paduka Radja diminta berdiri
berhadapan dengan pembesar Djepang itu, oleh pembesar Djepang tersebut
dengan sikap tegap, hormat dan khidmat sekali segera menjerahkan sebuah
bendera sebesar vandal jakni Sang Saka Merah Putih jang disambut kedua
belah tangan oleh Bapak Datu Bendahara Paduka Radja, sambil menjerahkan
bendera tersebut pembesar Djepang menjatakan bahwa bangsa Indonesia
telah merdeka. Dan segala tanggung djawab pemerintahan baik sipil maupun
militer dalam wilajah Bulungan pada saat itu diserahkan kepada
pemerintah Keradjaan Bulungan untuk meneruskan perdjuangan kemerdekaan
serta kemakmuran rakjatnja.Tetapi di daerah lain terutama dalam wilajah Kalimantan Timur, masih bertjokol Tentara Djepang jang masih melakukan perlawanan terhadap sekutu. Pertengahan tahun 1945 oleh pembesar sipil dan Militer Djepang jang mengungsi dari Tarakan ke Bulungan Tandjung Selor, segera mengadakan pesta perpisahan. Selain pembesar2 Djepang jang memang berkedudukan di Tandjung Selor beserta pegawai2nja bangsa Indonesia diundang, dimintai pula oleh Djepang atas kehadiran Bapak Sultan M. M. Djalaluddin beserta para menteri2nja. Oleh karena Bapak Sultan berhalangan ketika itu, maka beliau berwakil kepada Menteri Pertama Keradjaan Bulungan jakni Bapak Datu Muhammad Gelar Datu Bendahara Paduka Radja.
Pesta berlangsung dengan diakhiri berdirinja seorang pembesar Djepang dengan pidato perpisahan jang sangat mengharukan. Diantara pidatonja pembesar Djepang tersebut menjatakan bahwa mereka keseluruhannja sebentar lagi akan meneruskan pengungsiannja ke hulu Bulungan, langsung turun ke kota Samarinda.
Oleh karena emosi dan rasa haru bertjampur dengan gembira, dengan tidak terasa Bapak Datu Bendahara Paduka Radja menitikan air mata jang tak dapat ditahan2. Meskipun kedjadian ini mendjelaskan babak terakhir dari sandiwara pemerintahan Djepang di Indonesia, tetapi bagi Bapak Datu Bendahara jang sedang berdiri memegang bendera Sang Saka ini, dalam moment itu terkenang kembali, bahwa lebih 70 djuta Rakjat Indonesia jang bernaung dibawah Sang Saka Merah Putih tersebut. Betapa terharunja beliau ketika itu hanja Allah s.w.t jang maha mengetahui.
Setelah pesta berakhir, Bapak Datu Bendahara Paduka Radja segera langsung menemui Bapak Sultan melaporkan kedjadian tersebut. Dengan berdua, beliau memecahkan persoalan ini, sehingga menelorkan satu keputusan tegas jakni “HARUS MERDEKA”.
Mulai pada saat itu disusunlah cara2 dan politik jang tegas untuk menghadapi sesuatu yang bakal terdjadi, apabila tiba waktunja berhadapan dengan sekutu bersama Belandanja jang terang akan kembali dengan seribu satu matjam muslihatnja.
Dalam tahun 1946 Belanda dengan namanja jang terkenal jaitu NICA
mentjengkram kukunja dalam wilayah Kalimantan Timur dengan dilindungi
angkatannja jang kuat. Meskipun demikian hasrat Merdeka dan ingin
bergabung dengan pemerintah Republik Indonesia di Djogdjakarta tetap
menjala-njala, sehingga setiap Confrensi jang diadakan NICA dimana-mana,
Keradjaan Bulungan tetap berpegang teguh pada dalilnja jang pertama
jaitu “HARUS MERDEKA DAN TETAP MENJOKONG 100 % BERDIRI DIBELAKANG
PEMERINTAHAN REPUBLIK INDONESIA DI DJOGDJAKARTA”.
Dalam saat2 berikutnja, oleh Bapak Sultan atas kesekian kalinja beliau mengirimi utusan terdiri dari Bapak Datu Bendahara Paduka Radja dan seorang adviseur jaitu Dr. Senduk ke Confrensi DENPASAR dan seterusnja akan menerobos blokade Belanda langsung ke Djogdjakarta untuk segera menjerahkan Mandat Keradjaan Bulungan, jang di sokong pula oleh dua Keradjaan dari Berau.
Setelah Confrensi berakhir, dengan tiba2 Bapak Datu Bendahara Paduka Radja jatuh sakit, pada ketika itu djuga Bapak Datu Bendahara Menjerahkan kuasa kepada Dr, Senduk untuk membawa Mandat tersebut ke Djogdjakarta. Setelah agak sembuh Bapak Datu Bendahara Paduka Radja segera kembali ke Bulungan untuk berobat lebih landjut dan banjak memerlukan banjak istirahat.
Dalam tempo jang singkat Dr. Senduk kembali membawa hasil jang gemilang, dan melaporkan hasil perjalanannja kepada Bapak Sultan dan Bapak Datu Bendahara jang mana Mandat telah diterima oleh Perdana Menteri R.I. jang waktu itu didjabat oleh Alm. Sutan Sjahrir.
Mendengar ini NICA berusaha mentjari siasat baru dan segera menemui Bapak Sultan dengan melarang hadirnja Bapak Datu Bendahara Paduka Radja dalam pertemuan itu (pihak NICA sangat membentji tokoh ini) Dalam pertemuan tersebut pihak NICA Menjampaikan pesan selamat dari Koningin (Ratu) Wihelmina serta mendjelaskan bahwa dalam tempo singkat akan melantik Bapak Sultan sebagai Let. Kol. Alasuit.
Setelah NICA berlalu, Bapak Sultan segera memanggil Bapak Datu Bendahara Paduka Radja serta adviseur Dr. Senduk merundingkan siasat2 NICA tersebut.Dengan adanja ini Bapak Datu
Dalam saat2 berikutnja, oleh Bapak Sultan atas kesekian kalinja beliau mengirimi utusan terdiri dari Bapak Datu Bendahara Paduka Radja dan seorang adviseur jaitu Dr. Senduk ke Confrensi DENPASAR dan seterusnja akan menerobos blokade Belanda langsung ke Djogdjakarta untuk segera menjerahkan Mandat Keradjaan Bulungan, jang di sokong pula oleh dua Keradjaan dari Berau.
Setelah Confrensi berakhir, dengan tiba2 Bapak Datu Bendahara Paduka Radja jatuh sakit, pada ketika itu djuga Bapak Datu Bendahara Menjerahkan kuasa kepada Dr, Senduk untuk membawa Mandat tersebut ke Djogdjakarta. Setelah agak sembuh Bapak Datu Bendahara Paduka Radja segera kembali ke Bulungan untuk berobat lebih landjut dan banjak memerlukan banjak istirahat.
Dalam tempo jang singkat Dr. Senduk kembali membawa hasil jang gemilang, dan melaporkan hasil perjalanannja kepada Bapak Sultan dan Bapak Datu Bendahara jang mana Mandat telah diterima oleh Perdana Menteri R.I. jang waktu itu didjabat oleh Alm. Sutan Sjahrir.
Mendengar ini NICA berusaha mentjari siasat baru dan segera menemui Bapak Sultan dengan melarang hadirnja Bapak Datu Bendahara Paduka Radja dalam pertemuan itu (pihak NICA sangat membentji tokoh ini) Dalam pertemuan tersebut pihak NICA Menjampaikan pesan selamat dari Koningin (Ratu) Wihelmina serta mendjelaskan bahwa dalam tempo singkat akan melantik Bapak Sultan sebagai Let. Kol. Alasuit.
Setelah NICA berlalu, Bapak Sultan segera memanggil Bapak Datu Bendahara Paduka Radja serta adviseur Dr. Senduk merundingkan siasat2 NICA tersebut.Dengan adanja ini Bapak Datu
Bendahara Paduka Radja memberi saran agar apa2 jang
disodorkan oleh pihak NICA, kita terima asal politik pendjadjahnja kita
tentang dengan politik bebas merdeka, berikut apa2 jang hendak didjualoleh NICA, kita bersedia membelinjadengan tidak menggojahkan semangatperdjuangan semula. Demikianlah bapak Sultan M. M.Djalaluddin menerima pangkat Let. Kol. Alasuit dengan upatjara Militer Laut dan Darat.
etapi dalam awal tahun 1949 politik perdjuangan kemerdekaan dalam setiap tokoh2 Bulungan telah sampai pada puntjaknja. Perundingan diadakan terus menerus kemudian bapak Sultan bersama Bapak Datu Bendahara Paduka Radja memutuskan bahwa sudah tiba saatnja Sang Saka Merah Putih harus dikibarkan dalam wilajah Kerajaan Bulungan.
Pada tanggal 16 ke 17 Agustus jam 21 malam hari Bapak Sultan berdua dengan Bapak Datuk Bendahara Paduka Radja turun menuju halaman Istana Alm. Achmad Sulaiman jang bertingkat dua, untuk memeriksa sekali lagi tiang bendera dan tali temalinja yang telah disediakan sebelumnja. Oleh beliau diperintahkan agar berdjaga-djaga terus tiang bendera sampai besok paginja, agar djangan sampai di saboti oleh NICA.
Pada keesokan harinja tanggal 17 Agustus 1949 segenap rakjat beserta anak-anak sekolah berikut para undangan termasuk NICA komplit dengan Militer KNIL-nja yang memang sengadja diundang untuk turut menghormati upatjara kenaikan Sang Saka Dwi Warna, Bapak Sultan memberi perintah upatjara segera dimulai. Tidak ada kata2 jang dapat melukiskan perasaan para tokoh2 serta rakjat Bulungan ketika menjaksikan Bendera Sang Saka Merah Putih dengan perlahan-lahan naik ke puntjak dan segera berkibar dengan megahnja diangkasa bebas, memeberi pertanda bahwa pendjadjah telah terhapus bersih dari bumi persada Indonesia. Demikianlah Sang Saka Merah Putih terus menerus berkibar selama beberapa hari sehingga pihak NICA perlu mendatangi Istana Tanjung Palas menemui Bapak Sultan dan Bapak Datu Bendahara Paduka Radja, meminta agar bendera tersebut segera diturunkan.
Tetapi kedua tokoh tersebut tetap bertahan, malah memberi perintah jang lebih serius lagi jakni bendera harus berkibar siang malam dengan bersemboyan sekali berkibar tetap berkibar.
“Pilihan NICA hendak mengambil tindakan apa, terserah, kami tetap bersedia menghadapi setiap kemungkinan, bertanggung djawab dan konsekuen atas pendirian kami, kalau Pemerintah Republik Indonesia sekarang ini menghadapi perdjuangan berdarah, maka Bulungan bersedia menghadapi perdjuangan berdarah itu bersama-sama”.
Itulah djawaban perhabisan dari kedua tokoh tersebut jang diakhiri kembalinja pihak NICA membawa ketjewa.
Demikianlah riwajat singkat perdjuangan para tokoh2 Bulungan menghadapi politik pendjadjahan Beladna sehingga terlaksananja penaikan bendera mulai tanggal 17 Agustus 1949 terus menerus sampai penjerahan kedaulatan R. I.
Kemudian harinja dapat diketahui bahwa pada waktu itu belum ada satu wilajah diseluruh Indonesia jang mengibarkan bendera dengan resmi, selain Pusat Pemerintahan Republik Indonesia di Djokdjakarta dan wilajah Kerajaan Bulungan di Kalimantan Timur.
Catatan:
-Pembesar Jepang yang dimaksud bernama Kumatsu.
-Letnan Kolonel Alasuit atau ala Suite (Kraton) yang dikenal juga dengan nama Letnan Kolonel Tituler, merupakan penghargaan yang diberikan kepada orang-orang yang dianggap berjasa oleh Pemerintah Belanda kala itu, walaupun bersifat militer, kebanyakan penerimananya justru bukan dari golongan militer. Jabatan ini diberikan kebanyakan kepada kaum bangsawan yang berada dibawah komando KNIL yang berkedudukan di daerah Swapraja (Vorstenlanden). Dalam catatan Petrik Matanasi, penganugrahan Alasuite atau Tituler kebanyakan diberikan pada bangsawan dari Kraton di Jawa khususnya Kasunanan Surakarta dan Pakualaman Jokjakarta.
Sumber:
Tulisan Datuk Abd. Samad gelar Datuk Bestari bin Alm. Datuk Muhammad gelar Datuk Bendahara Paduka Radja Menteri ke I (De Eerste Landsgroote van Bulungan) dari Kerajaan Bulungan dan Tidung. Dalam “Sejarah Masuknya Islam di Kabupaten Bulungan”, oleh H.E. Mohd. Hassan, ddk. Tanjung Selor 26 November 1981.
Petrik Matanasi (2007), KNIL; Bom Waktu Tinggalan Belanda, Jakarta, PT. Buku Kita.
Foto
Tropenmuseum wikipedia
KITLV
Museum Kesultanan Bulungan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar