Hikayat Penari Jugit Dari Bulungan
(Ilustrasi mengenai Tari Jugit)
Tari jugit, hampir semua orang Bulungan tahu, paling tidak pernah mendengar namanya. Memang tari jugit merupakan salah satu pencapaian seni tertinggi di bidang tari pada zamannya, saat budaya istana Bulungan masih tegak berdiri.
Membahas tari jugit agaknya kurang rasanya bila tak menyelami hikayat penarinya, pengalaman dan pelatihan yang pernah di alami dan di lakoni sang seniman.
Tari Jugit, pencapaian tertinggi seni tari istana Bulungan.
Bila merujuk hikayat yang menyelubunginya, tari jugit yang dikenal saat ini tidak lahir dengan sendirinya, menurut riwayat tradisional Bulungan, kreator tari jugit adalah pendekar sekaligus seniman istana saat itu.
Sama halnya dengan tari balet di istana Tsar Rusia maupun Kaisar Austria-Hongaria, para instruktur balet menjadikan seni tari ini menjadi orientasi hidup para balerina, artinya Balet bukan hanya sekedar seni tapi juga bagian penting dari hidup mereka. Cara yang sama sebenarnya mirip dengan apa yang terjadi diistana Bulungan, jangan kira para penari jugit dimasa itu adalah sebuah pekerjaan yang mudah, butuh pendalaman seni yang dalam tapi juga kerja keras yang tinggi.
Para balerina diasuh, didik dan dilatih sejak belia oleh para instruktur mereka, tak beda jauh dengan para penari jugit, hanya mereka yang benar-benar lulus seleksi yang akan menjadi penari jugit.
Untuk menjadi seorang penari jugit, dibutuhnya persyaratan yang tidak ringan, salah satu yang paling penting adalah calon penari tak punya ikatan politik, artinya keluarganya bukanlah orang yang memiliki akses ke istana raja maupun orang-orang menjadi tokoh penting dilingkungan kesultanan seperti tokoh agama maupun tokoh adat.
Umumnya para instruktur akan mencari seorang gadis Bulungan yang cantik, berambut panjang terurai, tubuh dan mental yang sehat, setelah itu para calon penari bisa diboyong ke istana untuk didik setelah mendapat persetujuan orang tua atau wali dari si gadis.
Kehidupan para penari tentu saja akan berubah setelah meraka masuk dan menjadi bagian istana kesultanan Bulungan, demikian juga keluarga mereka, ini tak lain penari jugit adalah salah satu status tertinggi yang dimiliki oleh gadis Bulungan selain bangsawan dan tokoh agama di Bulungan. Para penari mendapat perhatian penuh dari Sultan bahkan kabarya saat mereka menikah -juga keperluan lainnya selama aktif sebagai seniman istana-, biayanya di tanggung oleh istana.
Tahap-tahap pelatihan penari jugit.
Dalam seni tari jugit, penari setidaknya menguasai olah seni dan olah tubuh, olah seni mengacu kepada kemampuan sang penari dalam menguasai tiap jengkal tari jugit, mampu membedakan bagaimana gerak tari jugit paman atau demaring dan mampu menyuguhkan etika seni yang santun.
Kemudian ada juga yang disebut oleh tubuh, yaitu kemampuan mengolah tubuh khususnya untuk menjaga kesehatan dan meningkatkan kemampuan dan stamina sang penari saat pementasan, sebab tari ini adalah tari istana, durasinya bisa tidak pendek.
Ada beberapa tahapan yang harus dijalani dalam latihan yang tidak ringan itu, menurut ibu Qamariyah, salah seorang instruktur tari daerah Bulungan yang juga putri dari seniman legendaris Bulungan Alm. Datuk Aziz Saleh Mansyur, menuturkan pada penulis bagaimana cara-cara pendidikan dan pelatihan tari jugit yang berdisiplin tinggi itu.
Konon pagi sebelum azan sholat subuh dikumandangkan, mereka sudah bangun untuk ritual mandi, itupun tak langsung mandi seperti orang kebanyakan, -pakaian para penaripun sangat tertutup, umumnya saat menjadi penari mereka akan memiliki dua orang pengawal dan seorang instruktur tari di istana-, mereka akan mengalami proses pelemparan atau dalam istilahnya “di timbai” dengan posisi punggung yang jatuh dahulu di air sungai, ini berlangsung tidak satu dua kali untuk meleturkan bagian tubuh tersebut, dan hal ini hanya dilakukan orang-orang yang khusus dan terlatih, jadi tidak sembarangan.
Menurut kisah yang dituturkan, untuk menjaga keamanan para penari saat mandi, dahulu dibuatlah semacam pagar yang rapat berukuran besar yang terbuat dari kayu laut, ini dimaksud untuk melindungi si penari dari ancaman buaya dan sebagainya, sayangnya baik penulis dan narasumber tidak mengetahui lebih jauh apa yang dimaksud dengan kayu laut oleh para tetua dulu.
Proses lain akan dilanjutkan lagi setelah mandi adalah senam yang melatih fisik, ada beberapa tahapan yang dijalankan:
Pertama: Paha dimasukkan kebawah tangga, duduk katak badan ditarik dari belakang selama beberapa menit dilakukan berulang-ulang oleh pengawal. Tentu saja tangga yang dimaksud memang khusus dibuat untuk keperluan tersebut.
Kedua: Badan atau punggung diikat ditiang rumah dengan selendang setelah itu badan ditarik kebelakang selama beberapa menit dilakukan berulang-ulang oleh pengawal. Tiang-tiang ini memang khusus dimiliki perorang / perpenari, di dalam keraton, tempat dimana mereka dilatih dan didik sejak awal mereka sudah memiliki tiang-tiang latihan tersebut.
Ketiga: Kedua jari tangan dimasukkan (digenggam), siku tangan dimasukkan antara 2 lutut lalu dirapatkan oleh si pengawal.
Keempat: Jari tangan direndam di air hangat selama beberapa menit lalu dilentingkan oleh sipengawal. proses ini dimaksud memudahkan gerak tangan sipenari saat pergelaran, ini tak lain karena gerak tangan erat kaitannnya dengan tarian jugit baik Jugit Paman maupun Jugit Demaring.
sumber lain menyebutkan bahwa Badan si penari diguling didalam tilam lalu digulingkan di anak tangga oleh sipengawal berulan-ulang. Hal ini dilakukan di pagi hari, berguna supaya badan penari tidak kaku dan mudah dalam mempelajari gerakan jugit.
Demikian rangkaian senam yang dilakukan saban pagi oleh penari jugit, setelah itu mereka bisa beraktivitas normal seperti shalat subuh dan sebagainya, menariknya tidak ditemukan dalam catatan sejarah maupun kisah-kisah yang menyebutkan pelatihan ini menyebabkan cacat ataupun luka-luka serius, hal ini tidak lain karena program pelatihan para penari ini telah diperhitungkan dengan matang dan dilakukan oleh instruktur dan pengawal yang profesional di bidangnya, hukuman yang berat bisa dijatuhkan pada para pengawal dan instruktur tari bila terjadi kelalain, sebab para penari ini langsung dibawah perlindungan Sultan Bulungan.
Lalu bagaimana dengan hikayat mengenai tubuh penari jugit yang konon sangat langsing namun berisi itu? penelusuran saya serta beberapa catatan tertulis mengenai hal tersebut membuat saya terkejut sekaligus rasa takjub, bagaimana tidak untuk menjaga proposi tubuh mereka menjalani semacam diet yang ketat.
Menurut kisah yang saya ketahui, diet ketat ini terlihat dari alat-alat makan yang digunakan, misalnya makan seujung sendok nasi, dan minum setakaran telur ayam, maksudnya alat makan yang digunakan dengan takaran seperti itu, tentu saja boleh menambah namun dengan alat makan yang disediakan, makanan ini dipadukan dengan buah-buahan segar dan susu, sehingga kesehatan dan proporsi tubuhnya terjaga.
Pada siang hari para penari beristirahat dikamarnya masing-masing, mereka duduk diatas semacam tempat khusus atau tikar selain di tilam mereka yang di taruh semacam pelebah kelapa, dalam kondisi seperti ini mereka dianjurkan untuk tidak tidur siang berlebihan, sebagai gantinya mereka melakukan perawatan tubuh dengan berlulur khas Bulungan yang disebut “Bekasai”.
Epilog.
Tari Jugit sebagai bagian dari maha karya seni Bulungan bukan tak pernah memasuki masa yang suram, jatuhnya istana Bulungan tahun 1964 juga di ikuti kajatuhan seni istana, yang paling terkena imbasnya tentu adalah tari jugit, ini tak lain karena jenis tari ini hanya boleh digelar di istana Bulungan dan dilakukan oleh gadis Bulungan diluar kasta bangsawan, namun instrukturnya hanya boleh melatih atas sepengetahuan sultan, dalam hal ini orang Bulungan menjaga betul hal tersebut.
Disisi lain timbul juga ketakutan, ada anggapan bahwa jika ada yang mencoba menarikan tari jugit sama artinya mencoba menghidupkan lagi kenagan lama kesultanan Bulungan yang pada imbasnya akan juga terkenang kejadian yang tidak menyenagkan pada tahun 1960-an itu. Wajar saja timbul kekhawatiran saat itu tari jugit ini akan musnah.
Namun bupati Bulungan yang berpikiran terbuka seperti Kol Soetadji, Yusuf Dali dan juga di ikuti oleh R.A Besing, mencoba membuka kekakuan tersebut dengan menggelar Birau (pesta rakyat) yang juga diikuti oleh pegelaran seni tari Bulungan seperti tari jugit. Usaha ini mendapat tanggapan positif dari masyarakat Bulungan, selain itu tak dapat di tampikkan juga ada usaha dan kesadaran tokoh-tokoh masyarakat dan seniman Bulungan agar tari jugit ini tetap lestari.
Sejak itu tari jugit kembali digelar di sanggar-sanggar tari maupun sekolah, ini tentu positif walaupun tidak lagi menjalani pelatihan seperti dulu. Saya harap kedepannya tari ini tetap lestari, dikenang dan dikembangkan oleh segenap masyarakat Bulungan hari ini hingga yang akan datang.
tulisan ini tentu jauh dari kesempurnaan, kritik dan saran sangat dibutuhkan. Demikian sedikit ulasan saya mengenai hikayat penari jugit, semoga tulisan kecil ini bisa bermanfaat. Amin.
Sumber:
Wawancara Ibu Iyay (Qamariyah), pada tanggal September 19, 2010, 3:23:00 AM. Pengajar tari tradisional Bulungan.
h
ttp://muhzarkasy-bulungan.blogspot.com/2010/11/ragam-seni-tari-tradisional-bulungan.html
http://amaliayoshiokachangmi.blogspot.com/2011/05/jugit-keraton.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar